Sabtu, Mei 08, 2010

Makna Hari Raya Galungandan Kuningan

Sejarah Hari Raya
Galungan masih
merupakan
misteri. Dengan
mempelajari
pustaka-pustaka, diantaranya
Panji Amalat Rasmi (Jaman
Jenggala) pada abad ke XI di
Jawa Timur, Galungan itu
sudah dirayakan. Dalam
Pararaton jaman akhir
kerajaan Majapahit pada abad
ke XVI, perayaan semacam ini
juga sudah diadakan.
Menurut arti bahasa,
Galungan itu berarti
peperangan. Dalam bahasa
Sunda terdapat kata Galungan
yang berarti berperang.
Parisadha Hindu Dharma
menyimpulkan, bahwa
upacara Galungan mempunyai
arti Pawedalan Jagat atau
Oton Gumi. Tidak berarti
bahwa Gumi/ Jagad ini lahir
pada hari Budha Keliwon
Dungulan. Melainkan hari
itulah yang ditetapkan agar
umat Hindu di Bali
menghaturkan maha
suksemaning idepnya ke
hadapan Ida Sang Hyang Widhi
atas terciptanya dunia serta
segala isinya. Pada hari itulah
umat angayubagia, bersyukur
atas karunia Ida Sanghyang
Widhi Wasa yang telah
berkenan menciptakan segala-
galanya di dunia ini.
Ngaturang maha suksmaning
idép, angayubagia adalah
suatu pertanda jiwa yang
sadar akan Kinasihan, tahu
akan hutang budi.
Yang terpenting, dalam
pelaksanaan upakara pada
hari-hari raya itu adalah sikap
batin. Mengenai bebanten
tidak kami tuliskan secara
lengkap dan terinci. Hanya
ditulis yang pokok-pokok saja
menurut apa yang umum
dilakukan oleh umat. Namun
sekali lagi, yang terpenting
adalah kesungguhan niat
dalam batin.
Dalam rangkaian peringatan
Galungan, pustaka-pustaka
mengajarkan bahwa sejak
Redite Pahing Dungulan kita
didatangi oleh Kala-tiganing
Galungan. Sang Kala Tiga
ialah Sang Bhuta Galungan,
Sang Bhuta Dungulan dan
Sang Bhuta Amangkurat.
Disebutkan dalam pustaka-
pustaka itu: mereka adalah
simbul angkara (keletehan).
Jadi dalam hal ini umat
berperang, bukanlah melawan
musuh berbentuk fisik, tetapi
kala keletehan dan adharma.
Berjuang, berperang antara
dharma untuk mengalahkan
adharma. Memilik nama-nama
itu, dapatlah kiranya diartikan
sebagai berikut:
Hari pertama = Sang Bhuta
Galungan.
Galungan berarti berperang/
bertempur. Berdasarkan ini,
boleh kita artikan bahwa pada
hari Redite Pahing Dungulan
kita baru kedatangan bhuta
(kala) yang menyerang (kita
baru sekedar diserang).
Hari kedua = Sang Bhuta
Dungulan.
Ia mengunjungi kita pada hari
Soma Pon Dungulan keesokan
harinya. Kata Dungulan
berarti menundukkan/
mengalahkan.
Hari ketiga = Sang Bhuta
Amangkurat
Hari Anggara Wage Dungulan
kita dijelang oleh Sang Bhuta
Amangkurat. Amangkurat
sama dengan menguasai
dunia. Dimaksudkan
menguasai dunia besar
(Bhuwana Agung), dan dunia
kecil ialah badan kita sendiri
(Bhuwana Alit).
Pendeknya, mula-mula kita
diserang, kemudian
ditundukkan, dan akhirnya
dikuasai. Ini yang akan terjadi,
keletehan benar-benar akan
menguasai kita, bila kita pasif
saja kepada serangan-
serangan itu. Dalam hubungan
inilah Sundari-Gama
mengajarkan agar pada hari-
hari ini umat den prayitna
anjekung jnana nirmala,
lamakane den kasurupan.
Hendaklah umat meneguhkan
hati agar jangan sampai
terpengaruh oleh bhuta-bhuta
(keletehan-keletehan) hati
tersebut. Inilah hakikat Abhya-
Kala (mabiakala) dan
metetebasan yang dilakukan
pada hari Penampahan itu.
Menurut Pustaka (lontar)
Djayakasunu, pada hari
Galungan itu Ida Sanghyang
Widhi menurunkan anugrah
berupa kekuatan iman, dan
kesucian batin untuk
memenangkan dharma
melawan adharma.
Menghilangkan keletehan dari
hati kita masing-masing.
Memperhatikan makna Hari
Raya Galungan itu, maka
patutlah pada waktu-waktu
itu, umat bergembira dan
bersuka ria. Gembira dengan
penuh rasa Parama Suksma,
rasa terimakasih, atas
anugrah Hyang Widhi.
Gembira atas anugrah
tersebut, gembira pula karena
Bhatara-bhatara, jiwa suci
leluhur, sejak dari sugi manek
turun dan berada di tengah-
tengah pratisentana sampai
dengan Kuningan.
Penjor terpancang di muka
rumah dengan megah dan
indahnya. Ia adalah lambang
pengayat ke Gunung Agung,
penghormatan ke hadirat Ida
Sanghyang Widhi. Janganlah
penjor itu dibuat hanya
sebagai hiasan semata-mata.
Lebih-lebih pada hari raya
Galungan, karena penjor
adalah suatu lambang yang
penuh arti. Pada penjor
digantungkan hasil-hasil
pertanian seperti: padi,
jagung, kelapa, jajanan dan
lain-lain, juga barang-barang
sandang (secarik kain) dan
uang. Ini mempunyai arti:
Penggugah hati umat, sebagai
momentum untuk
membangunkan rasa pada
manusia, bahwa segala yang
pokok bagi hidupnya adalah
anugrah Hyang Widhi. Semua
yang kita pergunakan adalah
karuniaNya, yang
dilimpahkannya kepada kita
semua karena cinta kasihNya.
Marilah kita bersama hangayu
bagia, menghaturkan rasa
Parama suksma.
Kita bergembira dan
bersukacita menerima
anugrah-anugrah itu, baik
yang berupa material yang
diperlukan bagi kehidupan,
maupun yang dilimpahkan
berupa kekuatan iman dan
kesucian batin. Dalam
mewujudkan kegembiraan itu
janganlah dibiasakan cara-
cara yang keluar dan
menyimpang dari
kegembiraan yang
berdasarkan jiwa keagamaan.
Mewujudkan kegembiraan
dengan judi, mabuk, atau
pengumbaran indria dilarang
agama. Bergembiralah dalam
batas-batas kesusilaan
(kesusilaan sosial dan
kesusilaan agama) misalnya
mengadakan pertunjukkan
kesenian, malam sastra,
mapepawosan, olahraga dan
lain-lainnya. Hendaklah kita
berani merombak kesalahan-
kesalahan/ kekeliruan-
kekeliruan drsta lama yang
nyata-nyata tidak sesuai atau
bertentangan dengan ajaran
susila. Agama disesuaikan
dengan desa, kala dan patra.
Selanjutnya oleh umat Hindu
di Bali dilakukan
persernbahyangan bersama-
sama ke semua tempat
persembahyangan, misalnya:
di sanggah/ pemerajan, di
pura-pura seperti pura-pura
Kahyangan Tiga dan lain-
lainnya. Sedangkan oleh para
spiritualis, Hari Raya Galungan
ini dirayakan dengan dharana,
dyana dan yoga semadhi.
Persembahan dihaturkan ke
hadapan Ida Sanghyang Widhi
dan kepada semua dewa-dewa
dan dilakukan di sanggah
parhyangan, di atas tempat
tidur, di halaman, di lumbung,
di dapur, di tugu (tumbal), di
bangunan-bangunan rumah
dan lain-lain.
Seterusnya di Kahyangan Tiga,
di Pengulun Setra (Prajapati),
kepada Dewi Laut (Samudera)
Dewa Hutan (Wana Giri) di
perabot-perabot / alat-alat
rumah tangga dan sebagainya.
Widhi-widhananya untuk di
Sanggah/ parhyangan ialah:
Tumpeng penyajaan,
wewakulan, canang raka,
sedah woh, penek ajuman,
kernbang payas serta wangi-
wangian dan pesucian. Untuk
di persembahyangan (piasan)
dihaturkan tumpeng
pengambean, jerimpen,
pajegan serta dengan
pelengkapnya. Lauk pauknya
sesate babi dan daging
goreng, daging itik atau
ayarn, dibuat rawon dan
sebagainya. Sesudah selesai
menghaturkan upacara dan
upakara tersebut kemudian
kita menghaturkan segehan
tandingan sebagaimana
biasanya, untuk pelaba-pelaba
kepada Sang Para Bhuta
Galungan, sehingga karena
gembiranya mereka lupa
dengan kewajiban-
kewajibannya mengganggu
dan menggoda ketentraman
batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari
Raya Galungan berlaku
dengan aman dan diliputi oleh
suasana suci hening,
mengsyukuri limpahan
kemurahan Ida Sanghyang
Widhi untuk keselamatan
manusia dan seisi dunia. Pada
hari Saniscara Keliwon Wuku
Kuningan (hari raya atau
Tumpek Kuningan), Ida
Sanghyang Widhi para Dewa
dan Pitara-pitara turun lagi ke
dunia untuk melimpahkan
karuniaNya berupa kebutuhan
pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi
kuning, lambang kemakmuran
dan dihaturkan sesajen-
sesajen sebagai tanda
terimakasih dan suksmaning
idep kita sebagai manusia
(umat) menerima anugrah
dari Hyang Widhi berupa
bahan-bahan sandang dan
pangan yang semuanya itu
dilimpahkan oleh beliau
kepada umatNya atas dasar
cinta-kasihnya. Di dalam tebog
atau selanggi yang berisi nasi
kuning tersebut dipancangkan
sebuah wayang-wayangan
(malaekat) yang melimpahkan
anugrah kemakmuran kepada
kita semua.
Demikian secara singkat
keterangan-keterangan dalam
merayakan hari Raya
Galungan dan Kuningan dalam
pelaksanaan dari segi batin.
Kesimpulan:
Dalam menyambut dan
merayakan hari-hari raya itu,
bergembiralah atas anugrah
Hyang Widhi dalam batas-
batas kesusilaan agama dan
keprihatinan bangsa.
Terangkan hati, agar menjadi
Çura, Dira dan Deraka
(berani, kokoh dan kuat),
dalam menghadapi hidup di
dunia.
Hemat dan sederhanalah
dalam mempergunakan biaya.
Terakhir dan bahkan yang
terpenting ialah mohon
anugrah Hyang Widhi dengan
ketulusan hati.

Tidak ada komentar: